
Keraton Kasepuhan di Kota Cirebon, Jawa Barat, selalu punya cerita, terutama saat bulan Maulid tiba. Halaman keraton yang biasanya lengang, pada Jumat (5/9) malam itu dipenuhi kerumunan orang.
Mereka datang berbondong-bondong ingin menyaksikan tradisi sakral yang sudah ratusan tahun berlangsung yaitu upacara Panjang Jimat.
Tradisi ini menjadi puncak peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, sekaligus warisan Sunan Gunung Jati yang terus dirawat sembari meneguhkan nilai kebersamaan dan spiritualitas.
Setiap tahun, keraton di Cirebon ini menjadi magnet, menarik siapa saja yang ingin merasakan khidmatnya malam panjang penuh doa itu.
Prosesi dimulai dari Bangsal Panembahan. Para kiai penghulu dan kaum Masjid Agung Sang Cipta Rasa berjalan beriringan, diikuti abdi dalem yang berbusana adat dengan ikat kepala batik dan baju beskap hitam.
Di bangsal itu, pimpinan Keraton Kasepuhan menempati singgasana. Abdi penata upacara lalu mempersilakan penataan nasi rosul pada tabsi Panjang Jimat.
Setiap gerakan tampak terukur dan tidak tergesa, agar setiap detik dapat dirasakan dalam-dalam.
Ada 36 piring panjang dan 38 lilin pengiring sebagai komponen tradisi ini. Setiap jumlah serta susunannya punya arti. Filosofi tersebut diambil dari ajaran Islam, yang dikaitkan dengan kehidupan manusia.
Semua perlambang itu menuturkan kembali perjalanan kelahiran seorang manusia, khususnya Nabi Muhammad SAW.
“Semua yang dibawa dalam iring-iringan punya makna. Itu menggambarkan kelahiran manusia, sekaligus mengingatkan kelahiran Nabi Muhammad SAW,” tutur Pangeran Patih Anom Raja Muhammad Nusantara, yang malam itu menjadi juru bicara keraton.
Usai penataan, suara qori’ melantunkan ayat-ayat Al-Quran. Suara merdu itu sedikit menggetarkan dinding-dinding tua keraton, membuat suasana semakin khusyuk dan semua orang di sana tertegun.
Puncak malam dimulai ketika penata upacara meminta izin memulai iring-iringan Panjang Jimat. Dari Bangsal Panembahan, barisan demi barisan mulai bergerak menuju Langgar Agung.
Di barisan depan, kelompok lilin membawa cahaya yang menandakan kelahiran Nabi pada malam hari. Lalu, perangkat upacara berupa manggaran, nagan, dan jantungan menyusul, menandai kebesaran serta keagungan.